Selayang Pandang
Oleh: Yulizar R. Husin
Direktur Eksekutif KPP HAM Lampung
Dengan disahkannya 8 (delapan) Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) menjadi Peraturan Daerah (Perda) oleh DPRD Provinsi Lampung pada tahun 2025, kami dari Komite Pemantau Pembangunan dan Hak Asasi Manusia (KPP HAM) Lampung menyampaikan apresiasi dan dukungan penuh atas kinerja Pemerintah Provinsi Lampung di bawah kepemimpinan Gubernur Rahmat Mirzani Djausal. Langkah ini menunjukkan kepemimpinan yang sigap, tanggap, dan mulai menjawab persoalan-persoalan mendasar yang selama ini dikeluhkan masyarakat.
Dalam konteks tersebut, kami juga menilai penting untuk menyoroti Perda yang berkaitan dengan perlindungan dan peningkatan kesejahteraan petani singkong, mengingat singkong merupakan komoditas unggulan sekaligus identitas ekonomi masyarakat Lampung. Perda ini diharapkan mampu mengakomodir kepentingan petani singkong, memperkuat posisi tawar mereka, serta memberikan kepastian kebijakan yang berpihak pada ekonomi rakyat. Bagi KPP HAM Lampung, keberpihakan terhadap petani singkong adalah bagian dari pemenuhan hak ekonomi dan sosial masyarakat Lampung.
Selain Perda yang berkaitan dengan perlindungan dan peningkatan kesejahteraan petani singkong, KPP HAM Lampung juga menyoroti Perda yang berkaitan langsung dengan proses perizinan usaha pertambangan. Sikap KPP HAM Lampung ini sejatinya konsisten dengan selayang pandang yang pernah kami sampaikan sebelumnya, khususnya ketika Pemerintah Provinsi Lampung melalui instruksi Gubernur menutup dan menyegel sejumlah tambang batuan ilegal di sekitar Kota Bandar Lampung. Saat itu, kami mengapresiasi ketegasan pemerintah dalam menjaga kelestarian lingkungan dan penegeakkan hukum. Namun, kami juga mengingatkan bahwa penegakan hukum tidak boleh berhenti pada tindakan represif semata, tanpa memikirkan nasib para pekerja tambang yang menggantungkan hidupnya dari aktivitas tersebut.
Sebagian besar penambang adalah kepala keluarga, yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Ketika tambang ditutup tanpa solusi alternatif, maka yang terjadi bukan hanya penegakan hukum, tetapi juga hilangnya sumber penghidupan rakyat kecil. Oleh karena itu, sejak awal kami menegaskan bahwa akar persoalan tambang ilegal bukan semata-mata niat melanggar hukum, melainkan sistem perizinan yang mahal, rumit, dan tidak berpihak pada penambang rakyat.
Dalam berbagai kesempatan, kami menyoroti bahwa izin pertambangan yang sah praktis hanya IUP Operasi Produksi, sementara penambang rakyat dengan luasan kecil, bahkan hanya 20 x 40 meter atau satu hingga dua hektare, tidak mungkin memenuhi persyaratan tersebut. Belum lagi praktik birokrasi berbelit, dugaan pungutan liar, penggunaan konsultan mahal, hingga ketimpangan penertiban yang seolah lebih menyasar tambang kecil yang mudah terlihat, sementara tambang besar di wilayah lain justru luput dari penindakan.
Karena itu, hadirnya Perda tentang perizinan pertambangan pada tahun 2025 ini kami pandang sebagai koreksi dan jawaban atas kritik-kritik tersebut. Perda ini diharapkan membuka ruang legalisasi bagi penambang kecil, menyederhanakan mekanisme perizinan, serta mengakhiri praktik-praktik birokrasi yang selama ini justru memproduksi ilegalitas. Namun demikian, kami menegaskan bahwa pengawasan terhadap aparatur sipil negara dan petugas pelayanan publik menjadi kunci utama, agar Perda ini tidak mandek di atas kertas atau disalahgunakan oleh oknum tertentu.
Dalam konteks tersebut, KPP HAM Lampung juga berharap agar Gubernur Lampung dapat secara langsung dan berkelanjutan mengawasi jalannya penerapan seluruh Perda yang telah disahkan ini. Kami tidak ingin Perda hanya dijadikan sekadar simbol atau “lifestyle kebijakan” yang dijalankan di awal saja, namun kehilangan ruh dan konsistensinya dalam pelaksanaan. Pengawasan yang kuat diperlukan agar tidak ada aparatur sipil pelayanan publik yang mengambil celah, menyimpang dari substansi Perda, atau justru menjadikannya alat kepentingan pribadi dan kelompok. Selain itu, kami juga berharap Aparat Penegak Hukum (APH) dapat ikut serta mengawasi pelaksanaan Perda ini, sehingga tercipta sinergi antara regulasi, birokrasi, dan penegakan hukum yang berkeadilan.
Kami juga menaruh harapan besar kepada Polda Lampung dan jajaran aparat penegak hukum, agar dengan hadirnya Perda ini tidak lagi menjadikan pendekatan pemidanaan sebagai solusi utama. Apalagi, pada tahun 2026 Indonesia akan memberlakukan KUHP baru, yang membawa perubahan paradigma penting dibandingkan KUHP lama. KUHP baru menempatkan pidana penjara sebagai ultimum remedium, yaitu jalan terakhir, bukan pilihan pertama dalam menyelesaikan perkara.
Oleh karena itu, aparat kepolisian perlu mulai membangun cara berpikir baru: bahwa menyelesaikan perkara tidak selalu harus berujung pada pemenjaraan, terlebih terhadap masyarakat kecil yang mencari nafkah. Pendekatan non-litigasi, pembinaan, mediasi, dan keadilan restoratif harus dikedepankan, selaras dengan semangat Perda dan KUHP baru, agar hukum benar-benar berfungsi sebagai alat keadilan sosial, bukan alat penindasan.
Akhirnya, kami menilai kepemimpinan Gubernur Lampung tahun 2025 menunjukkan arah yang semakin matang dan solutif. Tantangan ke depan bukan hanya pada keberanian membuat regulasi, tetapi pada keberanian memastikan regulasi itu dijalankan secara adil, manusiawi, dan bebas dari penyimpangan. Karena sejatinya, negara hadir bukan hanya untuk menindak, tetapi untuk melindungi, menata, dan menyelamatkan kehidupan rakyatnya.
Sebagai penutup, segenap anggota dan pengurus KPP HAM Lampung yang terdiri dari kalangan advokat dan akademisi mengucapkan selamat menyongsong Tahun Baru 2026. Kami berharap agar penegakan hukum di Provinsi Lampung pada tahun 2026 semakin menjunjung tinggi prinsip keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, serta benar-benar berpihak pada perlindungan hak asasi manusia. Semoga hukum tidak lagi dipraktikkan secara represif dan diskriminatif, melainkan menjadi instrumen pembinaan, perlindungan, dan keadilan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat khususnya di Provinsi Lampung.



