Mengenal Dja Endar Moeda, Sang Pelopor Pers di Indonesia

MEDIAGATRANEWS.COM – Pada satu masa di Indonesia, kerja jurnalistik adalah kerja kaum terpelajar dalam mencurahkan pikiran, pendapat, dan seruan untuk membangun kesadaran bangsa. Di Pulau Jawa, Tirto Adhi Suryo didaulat sebagai sosok perintis pers bumiputra. Di Sumatera, selain Datuk Sutan Maharaja, ada juga sosok jurnalis tangguh lainnya, Dja Endar Muda Harahap (Ja Endar Muda Harahap) yang dianggap sebagai salah satu pelopor jurnalistik bumiputra.

Dja Endar Moeda alias Haji Mohammad Saleh adalah orang Batak yang lahir di Padang Sidempuan pada tahun 1861. Usianya satu tahun lebih tua dibanding Datuk Sutan Maharaja yang kelak menjadi kompetitor utamanya di Sumatera.

Tidak lama setelah menyelesaikan pendidikannya di Kweekschool (sekolah guru) pada tahun 1885, Dja Endar Moeda memulai karier sebagai seorang guru bantu di Air Bangis. Di tengah aktivitasnya sebagai editor atau pemimpin surat kabar, Dja Endar Moeda berhasil menciptakan karya Riwayat Poelaoe Soematra yang terbit tahun 1903.

 

 

 

Mendapat Gelar “Raja Koran Sumatera”

 

 

 

Karier jurnalistik Dja Endar Moeda dimulai pada 1887 sebagai editor dan koresponden dari majalah bulanan pendidikan Soeloeh Pengadjar yang terbit di Probolinggo, Jawa Timur. Ia pernah tinggal di Bantahan dan Singkil, namun tidak bertahan lama dan memutuskan untuk bermukim di Padang pada tahun 1893.

 

Setelah kembali ke Padang, ia membidani tiga surat kabar sekaligus pada kurun 1900-1905, di antaranya surat kabar Insulinde dan Pertja Barat. Selain itu, selepas menunaikan ibadah haji pada tahun 1892, ia menerbitkan surat kabar Alam Minangkabaoe tahun 1904yang beraksara Arab dan berbahasa Melayu sebagai media dakwah agama.

Tidak sampai di situ, pada 1906, dirinya hijrah ke Aceh, dan kembali membidani dua surat kabar sekaligus yaitu Pemberita Atjeh serta Bintang Aceh.

 

Menurut Afthonul Afif Dari Melayu Menjadi Indonesia (2018, hlm. 60), di tahun yang sama Dja Endar Moeda juga sempat menerbitkan sekaligus memimpin surat kabar Tapian Na Oeli di Sibolga, Tapanuli Selatan.

“Pada 1908, Dja Endar Moeda beralih ke Medan dan menerbitkan surat kabar Warta Berita serta Minangkabaoe, selain ikut membantu keredaksian Pembrita Betawi yang berkantor di Batavia,” tulis Afif.

Pilihannya untuk turut serta dalam dunia jurnalistik tidak terlepas dari upayanya untuk menggugah masyarakat pada saat itu. Pilihannya sangat dipengaruhi oleh mentornya, Willem Iskander (1840-1876), seorang penulis, penyair, sekaligus pionir pendidikan bumiputra.

Pendidikan, ketuhanan, kritik sosial, serta adanya warna kepribadian yang memperjuangkan bangsa sendiri adalah ajaran Iskander. Nilai-nilai itu ia sadur, sekaligus membentuk karakter dalam diri Dja Endar Moeda yang sangat yakin untuk merealisasikan kemajuan yang diharapkan adalah melalui buku, majalah, dan surat kabar.

Pengalaman serta perhatiannya terhadap pendidikan dituangkan dalam surat kabar Pertja Barat sebagai alat untuk mengenalkan dan menyebarkan pentingnya pengetahuan modern. Menurut Ahmat Adam (2003) para editor Belanda dan bumiputra di Jawa menyebut Dja Endar Moeda sebagai orang Indonesia yang ‘tercerahkan’.

Selain itu, ia termasuk sosok yang mendukung keberadaan organisasi-organisasi bumiputra, layaknya dr. Wahidin Soedirohoesodo di Pulau Jawa yang menggugah masyarakat untuk menciptakan organisasi bumiputra. Maka dirinya menyerukan pembentukan organisasi modern kepada masyarakat di Sumatera; minimal mendirikan cabang Budi Utomo di Sumatera.

Atas upaya tersebut, dirinya dihormati oleh masyarakat Melayu, meskipun upaya yang dilakukannya tidak serta merta melahirkan organisasi bumiputra.

Dalam Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia (2007, hlm. 23) tercatat sampai pada tahun 1905, ia merupakan orang pertama yang memiliki percetakan surat kabar di Sumatera. Atas dasar itulah gelar “Raja Koran Sumatera” disematkan pada dirinya saat memimpin surat kabar yang diterbitkan di Padang, Sibolga, Medan dan Aceh (1906).

 

Merintis Surat Kabar Pewarta Deli

 

Sebagai sosok yang mendapat pengetahuan modern, Dja Endar Moeda merintis surat kabar Pewarta Deli pada tahun 1910 yang terbit di Medan yang dicetak Syarikat Tapanoeli. Pewarta Deli terbilang sebagai surat kabar modern dengan menerima berbagai macam paham-paham yang berkembang saat itu, seperti nasionalisme, komunisme, dan agama.

Selain itu, selain menjadi tempat keluh kesah rakyat, Pewarta Deli juga jadi surat kabar anti-kolonial berkat sokongan para jurnalis tangguh.

Meskipun pada 1912 dirinya digantikan oleh Sutan Parlindungan sebagai pemimpin redaksi, Pewarta Deli tetap konsisten sebagai wajah anti-kolonial dan tidak sungkan untuk menyerang priyayi di Sumatera yang gila pangkat dan menebar teror kepada masyarakat.

Di samping sikap anti-kolonial, Koko Hendri Lubis (2018) mencatat bahwa “Pewarta Deliamat menyoroti persoalan etnis, identitas yang terpinggirkan, dan kerusuhan dalam perkebunan (yang memenuhi ruang beritanya).

Wacana pendobrakan kultural sepertinya ingin diusung oleh surat kabar ini. Dalam perkembangan selanjutnya Pewarta Delimenjadi semacam sekolah jurnalistik yang melahirkan jurnalis-jurnalis besar dari Sumatera seperti, Sutan Parlindungan, Maharaja Ihutan, dan Jamaludin Adinegoro.

Pewarta Deli harus berhenti menyapa pembacanya saat Jepang menduduki Indonesia. Pewarta Deli bangkit kembali tidak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan, dan tutup untuk selamanya setelah masuknya sekutu di Indonesia. Meski begitu, Pewarta Deli dikategorikan sebagai surat kabar pertama di Sumatera yang dimiliki sepenuhnya oleh bumiputra.

Terlibat Polemik dalam Surat Kabar

 

Dalam perkembangan surat kabar di Sumatera pada masa awal pergerakan, ada dua sosok yang berbeda pandangan tapi saling melengkapi.

Satu adalah jurnalis kawakan bernama Datuk Sutan Maharaja yang dikenal sebagai jurnalis yang memperjuangkan emansipasi wanita, pemerhati pendidikan, dan tergolong ke dalam kelompok adat.

Sedangkan Dja Endar Moeda merupakan jurnalis yang mendukung pergerakan modern. Di samping perbedaan pendirian dan pandangan dari kedua sosok jurnalis tersebut, persaingan pasar menjadi pematik lainnya dalam polemik yang melibatkan kedua sosok tersebut.

Polemik tersebut terjadi pada tahun 1905, ketika Datuk Sutan Maharaja sebagai editor surat kabar Tjahaja Soematra bersama Liem Soen Hin mengeroyok Dja Endar Moeda, sang redaktur Pertja Barat.

Cacian, saling memaki, dan saling tuding terjadi di antara mereka lewat surat kabar yang mereka kelola masing-masing. Ketiga jurnalis ini saling menuduh dan merusak popularitas surat kabar lawan.

Dja Endar Moeda melalui Pertja Baratmenyebut Datuk Sutan Maharaja sebagai “Datuk Bangkit” dalam artian menghina: “bangkit berarti naik, mengulang-ulang keluhan lama.” Hal ini menimbulkan reaksi balik dari kubu Tjahaja Sumatera yang tak ingin kalah memberikan serangan balasan terhadap Dja Endar Moeda.

Polemik tersebut berakhir setelah pembaca dan koresponden dari kedua surat kabar tersebut meminta secara langsung untuk menghentikan polemik yang terjadi dan segera mengambil langkah positif untuk membangun masyarakat.

Memasuki tahun 1919, Pewarta Deli yang dirintis Dja Endar Moeda terlibat polemik yang melibatkan penulis yang memakai nama samaran “Batak na so Tarposo” dengan J. Simatupang, yang disebabkan mengenai arti sebutan Batak dalam Pewarta Deli no. 82 tahun 1919. Namun polemik tersebut akhirnya ditengahi oleh seorang berinisial JS dari surat kabar Imanuel edisi 17 Agustus 1919.

Mengutip kembali Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia (2007, hlm. 20) “untuk mengakhiri polemik tersebut, JS mengutip penggalan dalam buku yang berjudul Riwayat Poelaoe Soematra karangan Dja Endar Moeda yang diterbitkan tahun 1903:

“Adapoen bangsa jang mendoedoeki residentie Tapanoeli itoe, ialah bangsa Batak namanja. Adapoen kata “batak” yang terpakai, jaitoe “mematak”, jang artinya menaiki koeda. Kemoedian hari orang perboeatlah kata itoe djadi kata pemaki kepada bangsa itoe.”

sumber : tirto

 

Berita Terbaru