SELAYANG PANDANG – Penyegelan Tambang Ilegal Harus Disertai Solusi dan Dijadikan Bahan Evaluasi

Mengamati instruksi Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal dalam menutup tambang batuan ilegal di wilayah sekitar Kota Bandar Lampung, langkah tegas ini patut kita acungi jempol. Pemerintah menunjukkan komitmennya dalam menjaga kelestarian lingkungan dan menegakkan aturan hukum. Namun di sisi lain, ada hal penting yang tak boleh luput dari perhatian kita: nasib para pekerja tambang yang menggantungkan hidup dari aktivitas tersebut.

 

Sebagian besar dari mereka adalah kepala keluarga—suami, ayah, dan pencari nafkah yang bekerja untuk memberi makan anak dan istri mereka. Ketika tambang-tambang itu ditutup tanpa kejelasan arah atau solusi alternatif, maka hilang pula satu-satunya sumber penghidupan mereka.

 

Di sinilah kritik dan ajakan reflektif datang dari Direktur Eksekutif KPP-HAM Lampung, Yulizar R. Husin. Yulizar mengapresiasi langkah gubernur namun mengingatkan bahwa penegakan hukum haruslah diiringi dengan solusi yang membangun.

 

“Gubernur seharusnya hadir bukan hanya untuk menyegel dan bertindak tegas, tapi juga membawa solusi. Kenapa tambang-tambang ini ilegal? Karena sistem perizinan kita mahal dan rumit. Kalau izin dipermudah atau bahkan digratiskan, maka banyak tambang bisa dilegalkan. Pemerintah justru akan mendapat pemasukan dari pajak,” ujarnya.

Dalam praktiknya, pelaku usaha yang hendak mengurus perizinan sesuai ketentuan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan konsultasi dengan konsultan ahli di bidang pertambangan atau lingkungan hidup. Namun, dalam prosesnya, sering kali muncul praktik pemberian uang pelicin oleh oknum di dinas terkait. “Pada praktiknya, ada beberapa konsultan yang tidak dapat dengan mudah mengajukan permohonan izin meskipun kajiannya sudah sesuai ketentuan, hal tersebut diduga karena tidak memberikan uang pelicin yang besarannya sangat fantastis. Ini yang perlu menjadi perhatian dan pengawasan bersama oleh pemerintah, wartawan, dan masyarakat.”

 

Yulizar juga menyoroti ketimpangan penertiban. Ia mencatat bahwa tambang-tambang besar di kabupaten seperti tambang pasir di wilayah Lampung Tengah dan Lampung Timur, serta tambang emas di Waykanan yang telah di hebohkan beberapa media justru belum tersentuh, sementara tambang kecil di perkotaan yang mudah terlihat menjadi sasaran utama.

 

“Kita tidak ingin hukum ini hanya berlaku bagi yang kecil dan terlihat. Yang besar dan tersembunyi justru dibiarkan. Ini ketidakadilan,” tegasnya.

 

Lebih lanjut, Yulizar menegaskan bahwa permasalahan pertambangan yang diduga menjadi salah satu penyebab banjir di Kota Bandar Lampung, khususnya di wilayah Panjang dan Sukabumi, perlu dikaji secara menyeluruh. Ia menjelaskan bahwa banjir tersebut tidak semata-mata disebabkan oleh satu titik aktivitas pertambangan saja, melainkan turut dipengaruhi oleh faktor lain seperti buruknya sistem drainase serta penyempitan saluran air (gorong-gorong).

 

Yulizar juga menyoroti bahwa aktivitas pertambangan legal yang telah memiliki izin pun perlu dievaluasi kembali, terutama terkait kesesuaian titik koordinat lokasi tambang. Ia menyampaikan kekhawatiran bahwa terdapat kemungkinan pengusaha tambang mengajukan titik koordinat yang tidak sesuai dengan wilayah sebenarnya, bahkan mungkin berada di kawasan resapan air.

 

Selain itu, Yulizar menyoroti adanya praktik pungutan liar (pungli) yang meresahkan para pelaku usaha tambang. Tidak sedikit pengusaha tambang mengeluhkan tindakan oknum tertentu yang mempertanyakan perizinan di luar kewenangan mereka, dan hal ini sangat disayangkan, seperti lurah dan camat mempertanyakan izin kepada pelaku usaha karena di nilai kurang tepat, seharusnya lurah dan camat mengonfirmasi persoalan perizinan tersebut kepada instansi atau dinas terkait, bukan langsung kepada pelaku usaha. Situasi ini menunjukkan adanya ketidak terpaduan koordinasi atau kelemahan birokerasi antara dinas terkait dan jajaran pemerintahan di tingkat bawah. Bahkan, muncul dugaan bahwa ada pihak-pihak yang justru memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan pribadi.

 

Oleh karena itu, Yulizar menegaskan bahwa Wali Kota Bandar Lampung harus bersikap tegas terhadap aparatur pemerintahan di bawahnya, khususnya lurah dan camat, yang terindikasi melakukan praktik-praktik tidak semestinya diluar kewenangannya. Ia juga menjelaskan bahwa yang berwenang mempertanyakan izin pertambangan adalah pemerintah provinsi, karena pengurusan izin pertambangan berada di bawah kewenangan provinsi. Sementara itu, pemerintah kota hanya memiliki kewenangan dalam hal perizinan terkait lingkungan hidup atau UKL UPL.

 

Dan perlu di ketahui sesuai dengan ketentuan undang-undang “Yang berhak mempertanyakan izin itu adalah penyidik, bukan oknum-oknum tertentu yang tidak memiliki kewenangan. Kalau mereka mulai bertanya, lalu terjadi praktik ‘beri amplop’, itu sudah masuk pemerasan. Bahkan ada juga oknum yang mengaku sebagai media datang dengan dalih konfirmasi izin, tapi mengarah pada tekanan dengan modus membuat rilis berita yang kemudian dikirimkan kepada pengelola atau pemilik tambang agar terjadinya negosiasi untuk tidak dinaikan sebagai berita. Saya menghimbau kepada seluruh penambang, apabila terjadi hal seperti ini, maka bukti rilis berita tersebut bisa dijadikan sebagai bahan laporan kepada pihak kepolisian selaku penegak hukum sebagai bukti permulaan terjadinya tindak pidana pengancaman dan pemerasan, kami KPP-HAM Lampung juga bersedia mendampingi pihak pengelola untuk melakukan laporan tersebut, dikarenakan saya yakin kalau orang tersebut benar dari media dan telah melaksanakan pelatihan jurnalistik pasti tidak akan berbuat seperti itu, pasti ia akan langsung menaikan berita tanpa membuka celah negosiasi, itu bisa jadi orang yang mengaku-ngaku sebagai oknum media sehingga mencoreng nama baik pers dan jurnalistik.” jelas Yulizar.

 

Menurutnya, dokumen izin usaha hanya perlu ditunjukkan dalam proses penyidikan oleh penyidik, atau di persidangan atas permintaan hakim sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana. Di luar itu, pelaku usaha berhak menolak memberikan dokumen bila permintaan datang dari pihak yang tidak memiliki kewenangan hukum.

Disisi lain, Yulizar menegaskan mengenai perizinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, setiap kegiatan operasional pertambangan wajib memiliki izin berupa Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Surat Izin Pertambangan Batuan (SIPB). Namun demikian, perusahaan-perusahaan pertambangan skala kecil dan menengah kerap menghadapi berbagai kendala dalam proses perizinan.

 

Salah satu kendala yang dihadapi terkait perizinan SIPB (surat izin penambangan batu) adalah persoalan konterak kerja sama dengan pemerintah. Sebagaimana disampaikan oleh pihak Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Lampung, salah satu syarat untuk memperoleh izin tersebut adalah adanya kontrak kerja sama antara perusahaan dengan pihak pemerintah. Ketentuan ini menimbulkan pertanyaan mengenai kemungkinan adanya praktik monopoli yang cenderung menguntungkan perusahaan-perusahaan besar saja.

Lalu, bagaimana nasib perusahaan pertambangan kecil yang tidak memiliki akses untuk menjalin kerja sama dengan pemerintah….? Padahal sebagian dari mereka hanya berusaha untuk bertahan hidup dan mencari nafkah hidup dan penghidupan melalui kegiatan pertambangan yang berskala kecil.

Perlu menjadi perhatian bahwa apabila seluruh tambang batu ditutup dan hanya penambang skala besar yang diizinkan beroperasi, maka timbul pertanyaan apakah hal tersebut mampu memenuhi kebutuhan pembangunan di Provinsi Lampung, yang mencakup sektor pemerintahan, swasta, maupun perorangan. Kebijakan semacam ini berpotensi menjadi salah satu faktor penghambat pembangunan di wilayah Provinsi Lampung.

 

Meski demikian, Yulizar tetap optimistis. Ia yakin bahwa Gubernur Rahmat Mirzani Djausal, yang merupakan sosok muda dan berlatar belakang pengusaha, akan memahami secara jernih kompleksitas masalah ini. “Pak Gubernur pasti tahu bahwa sektor usaha tidak bisa dibangun hanya dengan tindakan represif. Saya yakin beliau bisa membawa arah kebijakan yang lebih solutif, progresif, dan berkeadilan,” tutupnya.

 

Kini, publik menantikan langkah lanjutan dari pemerintah provinsi: apakah cukup dengan penyegelan semata, ataukah hadir dengan terobosan dan kebijakan yang menyentuh akar masalah? Karena sejatinya, negara hadir bukan sekadar menindak, tapi juga menyelamatkan kehidupan rakyat nya.

Berita Terbaru