Pesawaran Rabu (17/12/2025) —Konflik lahan yang terjadi di wilayah Rejosari dinilai telah berkembang menjadi persoalan serius pelanggaran hak pekerja. Terhentinya aktivitas panen kelapa sawit akibat konflik antara perusahaan dan masyarakat tidak hanya menurunkan pendapatan buruh, tetapi juga mengancam hak konstitusional mereka untuk bekerja dan memperoleh penghidupan yang layak sebagaimana dijamin Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Buruh perkebunan menjadi kelompok paling terdampak dalam konflik yang tak kunjung diselesaikan secara tegas. Sistem kerja berbasis hasil produksi membuat buruh kehilangan penghasilan ketika akses ke kebun tertutup, sementara kebutuhan hidup keluarga tetap berjalan.
Indra, salah satu buruh perkebunan, menyatakan keprihatinan mendalam sekaligus kemarahan moral atas konflik berkepanjangan yang menempatkan buruh sebagai korban.
“Kami sebagai buruh sangat prihatin. Konflik antara perusahaan dan masyarakat ini nyata-nyata mengganggu aktivitas produksi dan langsung memukul penghasilan kami. Kami tidak terlibat dalam sengketa, tetapi kami yang paling dirugikan,” tegas Indra, Rabu (17/12/2025).
Ia menuturkan bahwa berdasarkan pengetahuannya, sejak Indonesia merdeka lahan perkebunan tersebut dikelola oleh negara melalui perusahaan BUMN. Dalam perjalanan waktu, kebun telah tertata, berproduksi, dan menjadi sumber penghidupan bagi ribuan keluarga buruh. Namun, sengketa yang muncul belakangan justru menciptakan ketidakpastian berkepanjangan.
“Setahu saya, sejak Indonesia merdeka tanah ini dikelola negara melalui Perusahaan BUMN. Kebun sudah lama tertata dan menghasilkan. Tapi sekarang justru muncul sengketa. Buruh tidak pernah dilibatkan, tapi buruh yang paling merasakan dampaknya,” ujarnya.
Indra menegaskan bahwa pembiaran konflik sama artinya dengan membiarkan buruh kehilangan hak dasarnya.
“Kami mendesak pemerintah benar-benar hadir. Negara harus mengambil kebijakan yang cepat, tepat, dan tuntas. Jangan biarkan konflik ini berlarut, karena yang dipertaruhkan adalah hak kami untuk bekerja dan menghidupi keluarga,” katanya.
Rilis Sikap Forum Buruh: Pelanggaran Konstitusi dan Undang-Undang. Dalam rilis sikap resminya, Forum Buruh menyatakan konflik lahan Rejosari telah melanggar prinsip-prinsip dasar perlindungan pekerja dan mencerminkan kegagalan negara dalam menjalankan mandat konstitusi.
Forum Buruh menegaskan bahwa kondisi ini tidak sesuai dan bertentangan dengan:
Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, yang menjamin hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak;
Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, yang menjamin hak untuk bekerja serta memperoleh imbalan dan perlakuan yang adil dan layak;
Pasal 33 UUD 1945, yang menegaskan penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Selain konstitusi, Forum Buruh juga merujuk pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mewajibkan negara dan pemberi kerja menjamin perlindungan, kepastian kerja, serta keberlangsungan penghidupan buruh, termasuk dalam situasi konflik struktural yang berada di luar kendali pekerja.
Forum Buruh juga menilai konflik ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang menegaskan bahwa penguasaan dan penggunaan tanah harus memiliki fungsi sosial dan tidak boleh menimbulkan ketidakadilan, terlebih sampai mengorbankan hak kerja dan hak hidup buruh.
“Konflik agraria yang menghilangkan akses buruh terhadap pekerjaan merupakan bentuk ketidakadilan struktural dan berpotensi menjadi pelanggaran HAM,” tegas Forum Buruh.
Desakan Langsung ke Presiden dan Menteri Terkait
Dalam pernyataan lanjutannya, Forum Buruh secara tegas mendesak Presiden Republik Indonesia untuk turun tangan langsung menyelesaikan konflik lahan Rejosari yang telah merugikan buruh secara nyata.
Forum Buruh menilai konflik berkepanjangan ini menunjukkan lemahnya koordinasi lintas kementerian dan lembaga. Oleh karena itu, Forum Buruh menyampaikan desakan konkret kepada:
1. Presiden Republik Indonesia, agar memberikan instruksi tegas kepada kementerian terkait untuk menyelesaikan konflik secara cepat, adil, dan tuntas, dengan menempatkan perlindungan hak pekerja sebagai prioritas utama sesuai amanat UUD 1945.
2. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), untuk memastikan perusahaan negara tidak membiarkan konflik berkepanjangan yang mengorbankan buruh, serta menjamin keberlangsungan kerja dan pendapatan pekerja selama konflik berlangsung.
3. Menteri Ketenagakerjaan, agar menjalankan fungsi pengawasan sesuai UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, termasuk memastikan buruh tidak kehilangan hak kerja dan hak atas penghidupan akibat konflik agraria.
4. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, untuk segera mengambil langkah hukum dan administratif sesuai UUPA, guna memastikan kepastian status lahan dan mencegah konflik berulang.
Forum Buruh menegaskan, ketidaktegasan negara dalam menyelesaikan konflik lahan yang berdampak langsung pada buruh merupakan bentuk pembiaran terhadap pelanggaran hak konstitusional pekerja.
“Negara tidak boleh pasif. Ketika buruh kehilangan pekerjaan dan penghidupan akibat konflik yang tidak mereka ciptakan, maka negara wajib hadir dan bertanggung jawab,” tegas Forum Buruh.
Forum Buruh memperingatkan, jika konflik lahan Rejosari terus dibiarkan tanpa keputusan yang jelas, situasi ini berpotensi berkembang menjadi pelanggaran HAM struktural dan mencederai prinsip keadilan sosial sebagaimana diamanatkan konstitusi. (*)



